Pengamat Sebut Wajar SBY Khawatirkan Utang Indonesia, Sebab Ini yang Terjadi Sejak Jokowi Memimpin
RIAU24.COM - Analis ekonomi dari Pergerakan Kedaulatan Rakyat (PKR), Gede Sandra, menilai, adalah sesuatu yang wajar, jika Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) merasa khawatir dengan tingginya utang Indonesia.
Menurutnya, rasio utang terhadap PDB memang sudah tidak relevan untuk digunakan.
"Mana bisa kita membandingkan nilai keseluruhan utang dengan keseluruhan ekonomi? Yang masuk akal adalah membandingkan kewajiban utang pertahun dengan penerimaan negara setiap tahun. Dari sanalah didapat angka 40% yang disebut Pak SBY untuk tahun 2021," lontarnya dalam keterangan tertulis, Minggu 10 Januari 2021, dilansir rmol.
Seperti diketahui, SBY menyebutkan bahwa utang Indonesia sudah tidak aman. Bukan hanya meningkatnya rasio utang terhadap PDB, namun utang yang tercatat hingga November 2020 sebesar Rp 5.910,64 triliun membebani Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan membatasi ruang gerak ekonomi.
Menurut SBY, akibat kondisi itu bisa saja 40 persen belanja negara hanya dikeluarkan untuk membayar cicilan dan bunga utang. Ia khawatir bila pemerintah tak segera memutar otak, maka persentase tersebut dapat terus membesar di tahun-tahun berikutnya.
Menurut Gede, untuk mengetahui seberapa berat beban pelunasan utang dan bunganya, pemerintah perlu mempertimbangkan indikator neraca keseimbangan primer.
"Dulu zaman SBY, selama 8 tahun awal pemerintahan neraca keseimbangan primer selalu surplus. Artinya negara tidak perlu berutang untuk melunasi bunga utang. Namun di era Jokowi, sudah sejak tahun pertama memetintah, neraca keseimbangan primer selalu mengalami defisit," jelasnya.
Ditambahkannya, nilai defisit keseimbangan primer terus membengkak. Bila di tahun 2014 defisit keseimbangan primer di angka Rp94 triliun, tahun 2020 defisit keseimbangan primer sudah melewati Rp700 triliun.
"Meningkat 7 kali lipat, artinya di bawah Jokowi, sudah 6 tahun ini negara perlu berutang untuk melunasi bunga utang. Dengan nilai defisit keseimbangan primer yang terus membengkak," sambungnya.
Gede juga melihat ada hal lain yang mendasari mengapa utang Indonesia menjadi begitu besar. Salah satunya adalah karena karena pemerintah yang menurutnya terlalu bernafsu, namun tidak diimbangi dengan perhitungan yang matang.
Gede melihat pemerintah berlebihan melakukan pembiayaan atau menambah utang.
Ia mengurai, defisit anggaran tahun 2020 hanya Rp 956,3 triliun. Namun pemerintah terlalu bersemangat menarik utang baru hingga Rp1.190,9 triliun. Artinya, terdapat kelebihan penarikan utang sebesar Rp234,7 triliun, yang dinamakan sisa anggaran tidak terpakai.
"Bila dikalikan dengan yield hari ini (6%), dari kelebihan penarikan utang tersebut terdapat bunga minimal Rp 14 triliun. Rp 14 triliun ini adalah bunga yang mubazir. Jelas negara sangat dirugikan karena tetap harus membayar bunga yang sangat besar atas dana yang tidak terpakai," lanjut Gede.
"Saya bukan ahli hukum, tapi seharusnya KPK atau BPK dapat masuk untuk menyelidiki potensi pelanggaran hukum. Karena jelas ada pihak yang diuntungkan pada saat negara dirugikan," ujarnya lagi. ***