Yusril Kritik Tito: Presiden Atau Mendagri Tidak Berwenang Mencopot Kepala Daerah
RIAU24.COM - Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra ikut memberi pandangannya terkait instruksi Mendagri Tito Karnavian tentang penegakan protokol kesehatan COVID-19 dengan bisa mencopot kepala daerah yang melanggar.
Yusril menjelaskan, instruksi Mendagri Tito Karnavian tersebut tak bisa dijadikan dasar pencopotan kepala daerah.
“Yang perlu dijelaskan adalah apakah instruksi Mendagri Nomor 6 Tahun 2020 itu dapat dijadikan dasar untuk memberhentikan kepala daerah yang tidak melaksanakan seluruh peraturan perundang-undangan terkait dengan penegakan protokol kesehatan dalam menghadapi pandemi COVID-19? Jawabannya, tentu saja tidak,” kata Yusril melalui keterangan tertulis, mengutip dari Viva. Kamis, 19 November 2020.
Menurut Yusril, instruksi presiden, instruksi menteri dan sejenisnya, pada hakikatnya hanya perintah tertulis dari atasan kepada jajaran yang berada di bawahnya untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Dia menjelaskan itu dengan merujuk proses penyusunan Undang-undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan pada 2003. Saat itu, Yusril selaku Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Ia bilang, dalam prosesnya, UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan itu kemudian menjadi UU Nomor 10 Tahun 2004. Pun, selanjutnya diganti dengan UU Nomor 12 Tahun 2011.
"Dan, telah diubah dengan UU No 15 Tahun 2019, sudah tidak mencantumkan lagi inpres sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan. Ini untuk mengakhiri keragu-raguan tentang status inpres yang sangat banyak diterbitkan pada masa Presiden Soeharto,” jelasnya.
Yusril menambahkan, instruksi Tito terkait ancaman bagi kepala daerah pelanggar protokol bisa saja terjadi. Namun, proses pelaksanaan pemberhentian kepala daerah itu tetap harus merujuk UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
“Sebagaimana kita maklum UU Pemerintahan Daerah sekarang menyerahkan pemilihan kepala daerah secara langsung kepada rakyat melalui pilkada yang dilaksanakan oleh KPU dan KPU di daerah," lanjut Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) itu.
Dalam konstitusi, ia menekankan, posisi KPU sebagai satu-satunya lembaga yang berwenang menetapkan pasangan pemenang dalam pilkada. Meski kadang KPU harus menunggu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap jika ada gugatan ke Mahkamah Konstitusi.
Namun, pasangan manapun yang ditetapkan KPU sebagai pemenang, tidak dapat dipersoalkan, apalagi ditolak oleh pemerintah. Presiden atau mendagri tinggal menerbitkan Keputusan tentang Pengesahan Pasangan Gubernur atau Bupati/Walikota terpilih dan melantiknya.
“Dengan demikian, presiden tidaklah berwenang mengambil inisiatif memberhentikan gubernur dan/atau wakil gubernur. Mendagri juga tidak berwenang mengambil prakarsa memberhentikan bupati dan wali kota beserta wakilnya,” jelasnya.
Pun, ia menyampaikan proses pemberhentian kepala daerah, termasuk dengan alasan melanggar Pasal 67 huruf b jo Pasal 78 ayat (1) huruf c dan ayat (2) huruf d yakni tidak melaksanakan kewajiban untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku terkait dengan penegakan protokol kesehatan, tetap harus dilakukan melalui DPRD.
“Jika ada DPRD yang berpendapat demikian, mereka wajib memulainya dengan melakukan proses pemakzulan (impeachment),” ujarnya.
Yusril mengatakan, jika DPRD berpendapat cukup alasan bagi kepala daerah untuk dimakzulkan, maka pendapat DPRD tersebut wajib disampaikan kepada Mahkamah Agung (MA) untuk dinilai dan diputuskan. Namun, untuk keadilan, maka kepala daerah yang akan dimakzulkan itu diberi kesempatan MA untuk membela diri.
“Jadi, proses pemakzulan itu akan memakan waktu lama, mungkin setahun mungkin pula lebih. Apa yang jelas bagi kita adalah presiden maupun mendagri tidaklah berwenang memberhentikan atau ‘mencopot’ kepada daerah, karena kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat,” tegasnya.
Kata dia, kewenangan presiden dan mendagri hanyalah terbatas melakukan pemberhentian sementara tanpa proses pengusulan oleh DPRD dalam hal kepala daerah terjerat kasus hukum dengan ancaman pidana di atas lima tahun. Hal ini seperti dakwaan kasus korupsi, makar, terorisme, hingga kejahatan terhadap keamanan negara.
“Kalau dakwaan tidak terbukti dan kepala daerah tadi dibebaskan, maka selama masa jabatannya masih tersisa, presiden dan mendagri wajib memulihkan jabatan dan kedudukannya,” katanya.