Militer AS Merilis Data Tentang Bahaya Sipil Dalam Perang di ISIL
RIAU24.COM - Untuk pertama kalinya sejak koalisi pimpinan AS melancarkan perang melawan ISIL (ISIS) pada tahun 2014, militer AS telah secara eksklusif merilis koordinat geografis untuk hampir semua kasus yang dikonfirmasi dari kerusakan sipil dan kematian di Irak dan Suriah kepada Airwars, Inggris- organisasi nirlaba berbasis yang bekerja untuk melacak dan menilai tindakan militer di zona konflik.
Data yang diperoleh Airwars memungkinkan lokasi akurat dari 341 insiden kerusakan sipil dan sekitar 1.400 kematian warga sipil dari 2014 hingga 2019 yang telah diakui oleh militer AS.
Airwars memperkirakan bahwa jumlah total warga sipil yang terbunuh oleh pasukan koalisi pimpinan AS selama perang berada di kisaran 8.310 hingga 13.187.
Terobosan ini memberikan wawasan tentang pertanyaan yang telah muncul selama bertahun-tahun. Data tersebut menunjukkan kapan dan di mana peristiwa tertentu terjadi, dan menyederhanakan proses penentuan individu mana yang terpengaruh oleh serangan tertentu. Bukti baru ini berpotensi membuka pintu untuk permintaan maaf resmi dan pembayaran restitusi dari Amerika Serikat dan sekutunya.
Mantan juru bicara koalisi Kolonel Myles Caggins mengatakan kepada Airwars bahwa alasan utama di balik keputusan militer AS untuk merilis data ini sekarang adalah transparansi.
“Kami menangani setiap tuduhan korban sipil dengan ketulusan, perhatian, dan ketekunan yang tinggi; kami melihat penambahan lokasi geografis sebagai bukti transparansi, dan komitmen kami untuk bekerja sama dengan lembaga seperti Airwars untuk mengidentifikasi insiden kerusakan sipil dengan benar. ”
Menanggapi perolehan teritorial cepat yang dilakukan oleh kelompok ISIL pada tahun 2014, koalisi pimpinan AS memulai upaya untuk memerangi kelompok tersebut pada bulan Agustus tahun itu. Militer AS memasok pasukan Peshmerga Kurdi Irak dengan senjata di darat dan meluncurkan serangan udara intensif terhadap kelompok itu di Irak dan Suriah.
Airwars mencatat bahwa rilis koordinat tertentu "diyakini sebagai data korban sipil lokasi paling komprehensif yang pernah dirilis oleh militer AS". Sebagian besar koordinat berada dalam jarak 100 meter dari lokasi kejadian yang disebutkan oleh militer, sementara koordinat tertentu berada sedekat satu meter.
Dari 344 insiden kerusakan sipil yang "kredibel" yang tercatat, 341 telah dikonfirmasi melalui data ini. Tiga orang sisanya dikeluarkan oleh militer karena berbagai alasan seperti penyelidikan berkelanjutan dan dimasukkannya informasi sensitif.
Banyak dari insiden ini juga telah dikonfirmasi melalui akun langsung seperti foto dan video yang diunggah ke internet oleh para saksi.
Komando Pusat Amerika Serikat (CENTCOM) membentuk tim penilai korban sipil pada tahun 2016 dan mulai menerbitkan laporan korban sipil yang dikonfirmasi yang berasal dari perang melawan ISIL secara teratur.
Pasukan koalisi pimpinan AS mengambil alih penilaian ini pada Desember 2016, dan mulai menerbitkan ringkasan bulanan tindakan yang mengakibatkan kerugian sipil. Meskipun langkah-langkah ini memberikan wawasan dan transparansi yang lebih besar tentang dampak buruk terhadap penduduk sipil, hanya ada sedikit informasi yang mengaitkan kejadian ini dengan lokasi geografis tertentu.
Hal ini menimbulkan tantangan khusus di daerah di mana pertempuran sengit telah terjadi.
Misalnya, Airwars melaporkan pertempuran yang sangat sengit di Mosul, Irak selama bulan Maret 2017. Organisasi nirlaba tersebut melacak lima klaim terpisah atas insiden yang mengakibatkan kerugian sipil pada tanggal 14 Maret saja. Beberapa hari melihat lebih dari selusin klaim dilaporkan. Tanpa koordinat tertentu, tidak ada cara untuk memisahkan peristiwa ini satu sama lain.
Data spesifik lokasi ini dapat membuka jalan bagi warga Irak dan Suriah yang terkena dampak untuk mendapatkan restitusi dari pemerintah AS dan sekutu koalisinya.
Mengutip laporan dari Pentagon, Airwars mencatat bahwa hanya enam pembayaran "ex gratia" yang dilakukan kepada warga Irak pada tahun 2019, dibandingkan dengan lebih dari 600 pembayaran di Afghanistan. Ketidakmampuan untuk membuktikan serangan atau lokasi yang tepat dari suatu peristiwa yang mengakibatkan kerugian sipil menjadi hambatan besar bagi warga Irak dan Suriah yang terkena dampak untuk mengajukan klaim. Dengan dirilisnya data geografis yang lebih spesifik, lebih banyak klaim yang berpotensi diajukan.