RUU Cipta Kerja Akan Disahkan, LBH Sebut DPR Bukan Wakili Rakyat
RIAU24.COM - Direktur Lembaga Bantua Hukum (LBH) Jakarta Arif Maulana menyebut, pembentukan Omnibus Law RUU Cipta Kerja sangat mengabaikan kepentinan rakyat.
Proses pembentukan RUU ini dilakukan secara tertutup, sembunyi-sembunyi serta diskriminatif karena hanya melibatkan kelompok pengusaha dan sebaliknya mengabaikan warga.
DPR disebut bukan lagi wakil rakyat, melainkan wakil pemodal dan pengusaha.
"Ini sangat sangat memprihatinkan," kata Arif dalam sebuah konferensi pers virtual bersama sejumlah organisasi gerakan rakyat, mengutip dari Kompas. Minggu 4 Oktober 2020.
"Kita melihat yang duduk di Senayan sana hari ini bukan wakil-wakil rakyat, tapi mereka adalah wakil-wakil pengusaha. Bukan wakil-wakil rakyat, tetapi mereka adalah wakil-wakil pemodal," lanjut dia.
Arif mengatakan, tidak seharusnya pembahasan RUU Cipta Kerja dilakukan secara tertutup.
Sebab, RUU ini bukan hanya berdampak pada pengusaha, tetapi juga buruh, mahasiswa, nelayan, petani, ibu rumah tangga, masyarakat adat dan seluruh warga negara Indonesia.
Dampaknya bukan sebatas pada persoalan ketenagakerjaan, melainkan juga sumber daya alam, pendidikan, soal tambang dan persoalan lainnya yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak.
Menurut Arief, Omnibus Law RUU Cipta Kerja merupakan bentuk kejahatan konstitusi.
Sejak awal kemunculannya, RUU ini cacat formil, cacat prosedur dan cacat materil karena menabrak berbagai ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan, bahkan konstitusi sebagai hukum tertinggi negara.
"Ini akan menjadi sebuah kejahatan terhadap konstitusi. Bukan hanya kejahatan, tetapi ini adalah bentuk pengkhianatan pemerintah dan juga DPR terhadap prinsip-prinsip demokrasi, prinsip-prinsip konstitusi dan juga negara hukum," ujar Arif.
Oleh karena itu, LBH Jakarta bersama sejumlah organisasi gerakan rakyat lainnya menyatakan penolakan terhadap pengesahan Omnibus Law RUU Cipta Kerja sebagai undang-undang.
Organisasi-organisasi tersebut tergabung dalam Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak) dan Aliansi-aliansi Daerah. Mereka menyerukan aksi mogok nasional pada 6, 7 dan 8 Oktober 2020 mendatang.