Giliran Jaksa Dicopot Gara-gara Djoko Tjandra, Komisi III DPR: Belum Cukup Sampai di Situ
RIAU24.COM - Hingga saat ini, jejak buronan hak tagih Bank Bali Djoko Tjandra, belum kunjung terungkap. Padahal, kunjungannya yang singkat kembali ke Indonesia pada pertengahan Juni lalu sudah membawa pencopotan sejumlah pejabat publik.
Diawali dari Lurah Grogol Selatan yang membantu menerbitkan KTP-El, lalu menyusu Brigjen Pol Prasetijo Utomo dicopot pula dari jabatannya setelah menyalahgunakan jabatan dengan menerbitkan surat jalan bagi Djoko.
Yang terbaru, adalah Kejaksaan Agung (Kejakgung) yang mencopot jaksa Pinangki Sirna Malasari dari jabatan Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II Biro Perencanaan Kejakgung. Pinangki dicopot karena dianggap terbukti terbukti melakukan pelanggaran disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Pinangki dalam penyelidikan internal Kejakgung terbukti melakukan perjalanan keluar negeri tanpa izin. Di antara sembilan perjalanan tersebut adalah pertemuan Pinangki dengan Djoko Tjandra. Kejakgung menyimpulkan hal tersebut setelah memeriksa pengacara Djoko, Anita Kolopaking.
Terkait hal itu, anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani mengapresiasi pencopotan jaksa Pinangki Sirna Malasari. Namun menurutnya, pencopotan itu dinilai tidak cukup.
"Kejaksaan perlu menelisik dan menganalisis apakah ada indikasi tindak pidana seperti suap atau gratifikasi atau tidak dalam hubungan antara jaksa tersebut dengan Djoko Tjandra atau ada tidak unsur pidana umumnya," ujarnya, Kamis 30 Juli 2020.
Menurutnya, bila terjadi suap atau korupsi oleh Pinangki dalam perkara Djoko Tjandra ini, maka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus ikut turun tangan. Sedangkan apabila ada dugaan tindak pidana umum, maka Polri juga harus ikut turun tangan.
"Logikanya tentu ada sesuatu kalau seorang penegak hukum sampai berkali-kali ketemu seorang buronan di LN tanpa ada maksud apa pun," tambahnya.
Arsul mengatakan, sikap terbuka Kejaksaan dalam perkara Djoko Tjandra ini minimal harus seperti Polri yang sebelumnya juga mencopot dan menyelidiki tiga pejabat tingginya dalam perkara Djoko Tjandra. Keterbukaan diperlukan untuk mengembalikan kewibawaan lembaga penuntut hukum.
Sementara itu, Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman meminta Kejaksaan Agung (Kejakgung) tak sekadar mencopot Pinangki dari jabatannya. "Sanksi tersebut belum cukup, semestinya sanksi pemberhentian dengan tidak hormat dari Pegawai Negeri Sipil Kejagung dan dikeluarkan dari lembaga Kejaksaan," ujarnya.
Boyamin menyebut, selama pemeriksaan Pinangki diduga berkelit, mengelak dan tidak mengakui perbuatan serta melakukan upaya perlawanan balik terhadap pemeriksa Kejakgung. Di samping itu, kata Boyamin, terdapat dugaan bukti yang kuat berupa pengakuan Anita Kolopaking yang telah jujur mengakui bersama sama Pinangki bertemu Djoko Tjandra di Malaysia.
"Keterangan Anita Kolopaking ini semestinya sudah cukup kuat dan tidak perlu menunggu keterangan Djoko Tjandra karena akan sulit mendapat keterangan dari Joko Tjandra," kata dia.
MAKI menyayangkan tindakan Kejagung yang masih mengabaikan dugaan pertemuan Pinangki dengan Joko Tjandra dengan dalih belum memeriksa Djoko Tjandra.
MAKI sudah menyerahkan bukti tambahan kepada Komisi Kejaksaan berupa foto dokumen perjalanan penerbangan Pinangki bersama Anita Kolopaking pada tanggal 25 November 2019 pesawat Garuda GA 820 jurusan Jakarta Kuala Lumpur keberangkatan pukul 08.20 WIB.
"Bukti tambahan tersebut akan sangat berguna untuk bahan pemeriksaan dan berjaga-jaga jika Pinangki mengelak dan membantah seperti yang telah dilakukannya di depan pemeriksa tim Jaksa Agung Muda Pengawasan Kejaksaan Agung," tambah Boyamin. ***