Gara-gara Sepak Terjang Djoko Tjandra, Kepala BIN Budi Gunawan Pun Ikut Tersandung, Ini Sebabnya
RIAU24.COM - Sepak terjang buronan kelas kakap kasus Bank Bali, Djoko Tjandra, terus menyeret sejumlah pihak. Tidak hanya Kepolisian dan Kejaksaan, Badan Intelejen Negara (BIN) juga ikut tersandung. Buntutnya, muncul desakan kepada Presiden Jokowi untuk mengevaluasi kinerja Kepala BIN, Budi Gunawan. Bila perlu yang bersangkutan diganti, karena dinilai gagal melaksanakan tugas sebagaimana mestinya.
Lalu, bagaimana respon BIN menyikapi hal ini?
Untuk diketahui, sorotan terhadap BIN datang dari pihak Indonesia Corruption Watch. Seperti dituturkan Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dan Wana Alamsyah, terungkapnya kasus Djoko Tjandra menunjukkan bahwa BIN tidak memiliki kemampuan dalam melacak keberadaan koruptor kelas kakap tersebut.
Padahal, banyak aktivitas yang telah dilakukan Djoko Tjandra, saat mulai berkeliaran di Tanah Air. Mulai dari masuk ke yurisdiksi Indonesia, mendapatkan paspor, membuat KTP elektronik, hingga mendaftarkan peninjauan kembali ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
"Ini membuktikan bahwa instrumen intelijen tidak bekerja secara optimal," ungkap Kurnia Ramadhana dalam keterangan persnya, Selasa (28/7/2020) kemarin.
Dilansir detik, Kurnia kemudian mengungkapkan, dari pemantauan yang dilakukan pihaknya, sejak tahun 1996 hingga 2020, ada sebanyak 40 koruptor yang hingga saat ini masih buron. Ada sejumlah lokasi yang teridentifikasi jadi tempat persembunyian mereka. Di antaranya Papua Nugini, Cina, Singapura, Hong Kong, Amerika Serikat, dan Australia.
Yang mencengangkan, nilai kerugian akibat tindakan korupsi para buron tersebut pun fantastis, yakni sebesar Rp55,8 triliun dan USD 105,5 juta. ICW kemudian memberikan rincian, pihak Kejaksaan masih ada 21 buronan yang belum tertangkap. Sedangkan Kepolisian sebanyak 13 orang dan KPK sebanyak 6 orang.
Lalu, apa hubungannya dengan BIN?
Menurut Kurnia, BIN sempat memulangkan dua buronan kasus korupsi, yakni Totok Ari Prabowo, mantan Bupati Temanggung yang ditangkap di Kamboja pada tahun 2015 lalu dan Samadikun Hartono di China pada tahun 2016.
Namun kondisinya jauh berbeda dengan saat ini. Sebab, selama di bawah kepemimpinan Budi Gunawan, tidak satu pun buronan korupsi mampu dideteksi BIN.
Atas hal itu pun ICW mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mengevaluasi kinerja Kepala BIN Budi Gunawan. Hal itu mengingat BIN telah dianggarkan dana sebesar Rp7,4 triliun pada APBN 2020. Dari jumlah itu, sebesar Rp2 triliun digunakan untuk operasi intelijen luar negeri.
"Oleh sebab itu, ICW mendesak agar Presiden Joko Widodo harus segera mengevaluasi kinerja Kepala BIN, Budi Gunawan, karena terbukti gagal dalam mendeteksi buronan kasus korupsi, Djoko Tjandra, sehingga yang bersangkutan dapat dengan mudah berpergian di Indonesia," ucapnya.
Bahkan lebih tegas lagi, pihaknya meminta Presiden Jokowi segera memberhentikan Kepala BIN,Budi Gunawan, jika di kemudian hari ditemukan fakta bahwa adanya informasi intelijen mengenai koruptor yang masuk ke wilayah Indonesia namun tidak disampaikan kepada Presiden dan penegak hukum.
Tak Punya Wewenang
Menanggapi hal itu, Deputi VII BIN Wawan Hari Purwanto mengatakan, BIN menjelaskan tidak memiliki kewenangan penegakan hukum.
"Berdasarkan Pasal 30 UU Nomor 17 Tahun 2011, BIN tidak mempunyai kewenangan penangkapan, baik di dalam maupun di luar negeri. BIN bukan lembaga penegak hukum. BIN memberikan masukan ke Presiden yang sifatnya strategis menyangkut keamanan negara," terangnya, Rabu 29 Juli 2020.
Wawan mengatakan pihaknya juga turut serta melakukan kerja memburu koruptor secara tertutup. Wawan mencontohkan buron kasus pembobolan Bank BNI Maria Pauline Lumowa yang berhasil ditangkap dan diekstradisi beberapa waktu lalu.
Di sisi lain, Wawan menyebut Djoko Tjandra masih melakukan upaya peninjauan kembali (PK) terhadap kasusnya. Karena itulah, menurut Wawan, BIN tidak bisa mengintervensi proses hukum yang sedang berjalan.
"Sesuai UU Nomor 17 Tahun 2011, BIN berwenang melakukan operasi di luar negeri. BIN memiliki perwakilan di luar negeri, termasuk dalam upaya mengejar koruptor. Namun, tidak semua negara ada perjanjian ekstradisi dengan Indonesia. Hal ini dilakukan upaya lain. Info yang diperoleh, rata-rata para terdakwa kasus korupsi masih melakukan upaya hukum PK (Peninjauan Kembali)," ujarnya lagi. ***