Menu

Tak Cuma Putra Jokowi, Tujuh Jagoan PDIP Ini Juga Bakal Lawan Kotak Kosong

Satria Utama 18 Jul 2020, 08:18
Ilustrasi
Ilustrasi

RIAU24.COM -  Putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka dan tujuh pasangan calon yang direkomendasikan PDIP dalam Pilkada serentak 2020, diprediksi melawan kotak kosong alias menjadi calon tunggal. Hal ini tentu saja menjadi preseden kurang baik dalam hal demokratisasi.

"Beberapa kabupaten/kota yang sudah pasti lawan kotak kosong. Di antaranya adalah Kota Semarang, Grobogan, Kebumen, Wonosobo, Pemalang, Sragen, dan Sukoharjo," kata Sekretaris PDIP Jawa Tengah, Bambang Kusriyanto di DPD PDIP Jawa Tengah, Jumat (17/7/2020).

Langkah Gibran bersama pasangannya Teguh Prakosa untuk melaju ke Pilkada Surakarta 2020, diperkirakan berjalan mulus. Selain telah mengantongi rekomendasi PDIP, sejumlah parpol juga merapat memberikan dukungan.

"(Gibran - Teguh) kemungkinan akan menjadi calon tunggal. Sebab, dari luar partai PDIP sampai saat ini belum ada yang mengajukan nama calonnya. Tapi kita lihat saja nanti saat pendaftaran ke KPU," lugas pria yang akrab disapa Bambang Kribo tersebut.

"Tapi dinamika masih berkembang, sehingga menjadi calon tunggal atau tidak, kita tidak tahu. Kita tunggu setelah rekomendasi keluar semua (dari partai lain). Jika sudah keluar, nantinya partai-partai akan bisa menentukan sikap gabung atau tidak," tambahnya.

Dia menyebutkan, PDIP memasang target 15 kemenangan di 21 kabupaten/kota se-Jateng yang menyelenggarakan Pilkada serentak 2020. Meski demikian, Bambang masih enggan membeberkan daerah-daerah yang dijagokan untuk menang pada pesta demokrasi nanti. "Yang pasti semua rekomendasi calon dari PDIP optimis menang," tandas dia.

Kotak kosong sebagai sebuah fenomena baru di era desentralisasi menjadi penting untuk direnungkan. Selain itu, fenomena kota kosong juga harus dimaknai sebagai langkah protes atas kebuntuan elektoralisme.

Menurut pengamat politik Haris Syamsudin dalam tulisannya di laman detik.com, kemunculan calon tunggal dipengaruhi oleh faktor besarnya mahar politik yang disyaratkan partai pengusung. Hal ini membuat para kandidat harus berhitung matang, terlebih jika yang dihadapi adalah kandidat petahana yang memiliki basis modalitas yang kuat. 

Sebagai konsekuensinya, para calon kontestan yang merasa diri tak mampu bersaing dengan incumbent ataupun kandidat terkuat lainnya dengan segenap kekuatan politik dan dukungan sumberdaya yang dimiliki membuat mereka mengendurkan niat untuk bertarung.***