Menu

Pendahulunya Pernah Menindas dan Menyiksa Rakyat Kongo, Raja Belgia Minta Maaf

Satria Utama 1 Jul 2020, 11:51
Raja Belgia, Philippe
Raja Belgia, Philippe

RIAU24.COM -  Raja Belgia, Philippe, meminta maaf dan menyampaikan penyesalan yang mendalam kepada Presiden Kongo, Felix Tshisekedi, atas kekejaman yang dilakukan pendahulunya selama masa penjajahan.

Pernyataan Philippe kepada Tshisekedi disampaikan melalui sepucuk surat. Di dalamnya tercantum permintaan maaf secara formal oleh Philippe, sekaligus rasa menyesal atas kekerasan dan kekejaman yang mengakibatkan penderitaan dan mempermalukan bangsa Kongo saat dijajah Kerajaan Belgia.

"Pada saat Kongo menjadi negara yang merdeka, sikap kekerasan dan kekejaman yang terjadi di masa lampau masih membebani ingatan kami," tulis Philippe, seperti dilansir Associated Press, Rabu (1/7).

"Masa penjajahan juga menyebabkan penderitaan dan rasa malu. Saya ingin menyampaikan penyesalan yang paling dalam atas masa lalu yang penuh luka tersebut, dan rasa sakit yang kembali ditimbulkan oleh diskriminasi yang terjadi di tengah kita saat ini," lanjut Philippe.

Kongo dijajah Belgia pada masa kepemimpinan Raja Leopold II pada 1885 sampai 1908. Saat itu, Leopold II dikenal kejam dan tidak segan menghabisi para penduduk yang menentang peraturan.

Selain itu, penduduk Kongo sangat menderita akibat kerja paksa dan bentuk kekejaman lain di masa penjajahan oleh Leopold II. Menurut perhitungan ahli, sekitar 10 juta penduduk Kongo meninggal saat masa kolonial.

Setelah masa penjajahan Leopold II di Kongo berakhir pada 1908, dia menyerahkan wilayah itu kepada pemerintah Belgia yang memerintah hingga 75 tahun kemudian sampai Kongo merdeka pada 1960.

Dalam gelombang aksi antirasialisme, sejumlah demonstran di Belgia merusak patung Leopold II. Tidak lama setelah surat Philippe dipublikasikan, pemerintah kota Ghent memutuskan memindahkan patung itu ke gudang museum.

Secara terpisah, Perdana Menteri Belgia, Sophie Wilmes, mendesak negara itu menggelar debat terbuka nasional secara mendalam untuk membahas persoalan kekejaman kerajaan saat menjajah Kongo.

"Pada 2020, kita harus bisa melihat kembali masa lalu secara jernih dan tegas. Pekerjaan kebenaran dan ingatan dimulai dengan pengakuan akan penderitaan. Mengakui penderitaan yang lain," ujar Wilmes.