DPR Minta Perdebatan RUU HIP Dihentikan
RIAU24.COM - JAKARTA- Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meminta perdebatan Rancangan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP) untuk dihentikan. Karena dengan adanya keputusan pemerintah untuk penundaan maka tidak ada hal yang subtansial untuk dibahas.
Hal itulah yang diungkapkan oleh Wakil Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI Saleh Partaonan Daulay dalam pesan singkatnya, Jakarta, Senin (22/6/2020).
zxc1
Saleh yang merupakan anggota DPR dari fraksi PAN menyebutkan, bahwa fraksi sudah sepakat pembahasan RUU tersebut dihentikan. "Begitu juga Seharusnya Pimpinan DPR RI untuk mengambil keputusan tersebut sesuai dengan mekanisme dan aturan yang ada,” ujarnya.
Ia pun menjelaskan, sebetulnya dari awal banyak fraksi yang memberikan catatan tidak dimasukkannya TAP MPRS/XXV/1966 sebagai konsideran.
“Kalau mau lihat jejak digitalnya, Fraksi PAN sejak awal sudah menyampaikan hal itu. Waktu itu, kami merasakan ada sesuatu yang tidak lengkap di dalam RUU tersebut."
zxc2
"Dan itu sesuatu yang sangat sensitif yang bisa menimbulkan polemik, perdebatan, dan bahkan penolakan dari publik. Ternyata benar, setelah disahkan sebagai inisiatif DPR, suara-suara yang mengkritik dan menolak nyaring terdengar,” tambahnya.
Ia pun menegaskan, bukan mau buang badan dan melemparkan tanggung jawab kepada satu atau dua fraksi.
"Tetapi, memang begitu kenyatannya. Silahkan dibuka data dan file pandangan fraksi-fraksi yang disampaikan ke Pimpinan waktu itu. Saya yakin, akan terlihat secara jelas dan utuh pandangan dan masukan fraksi-fraksi,” pungkasnya.
Sementara itu, Direktur Habib Rizieq (HRS) Syihab Center Abdul Chair Ramadhan menyebutkan, ada konsekuensi pidana atas pengajuan RUU tersebut. Sebagaimana, ketentuan Pasal 107 huruf d UU Nomor 27 tahun 1999 tentang
Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang Berkaitan Dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara.
Menurut Abdul, pengusung RUU HIP itu dapat dikategorikan sebagai bentuk kesengajaan untuk menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme. Dan ancaman pidananya mencapai 20 tahun penjara.
"Apalagi dari RUU itu hal yang paling subtansi adalah melakukan perubahan signifikan terhadap Pancasila. Yakni, merubah Ketuhanan Yang Maha Esa dan Keadilan Sosial. Keberadaan Keadilan Sosial disebutkan dalam RUU-HIP sebagai Sendi Pokok Pancasila," ujarnya.
Padahal, kata Abdul, sila Ketuhanan yang Maha Esa adalah "causa prima" dari Pancasila. Dengan kata lain Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi titik sentral dari kehidupan kenegaraan.
"Dengan menjadikan keadilan sosial sebagai titik sentral ini menjadi peluang bagi ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme untuk masuk," jelasnya.
Selain itu, kata Abdul, ada rencana perubahan dari Ketuhanan yang Maha Esa menjadi Ketuhanan yang Berkebudayaan.
"Walaupun pemahaman ini diambil dari pidato Bung Karno saat sidang di BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, namun itu bukan menjadi keputusan BPUPKI. Oleh karenanya, penggunaan istilah Ketuhanan yang berkebudayaan adalah sama dengan mengubah atau mengganti Pancasila," tambahnya.
Chair pun menilai, perubahan makna seperti di atas pastilah dilakukan secara sengaja yang menunjuk dengan maksud, yakni menghendaki atau mengetahui perbuatan maupun akibatnya.