Kartu Prakerja Bermasalah, Pihak Istana Lebih Milih Enggan Menanggapi, Ada Apa?
RIAU24.COM - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan kajian terhadap program Kartu Prakerja. KPK pun menemukan sejumlah permasalahan pada program tersebut.
Terkait dengan hal tersebut, pihak Istana Kepresidenan enggan mengomentari temuan KPK tersebut. Staf Khusus Presiden bidang Hukum Dini Purwono meminta temuan KPK tersebut ditanyakan langsung kepada Kementerian Koordinator bidang Perekonomian atau Manajemen Pelaksana (PMO) Program Kartu Prakerja.
"Untuk isu Kartu Prakerja jangan ke saya. Langsung ke Kemenko Perekonomian saja, atau ke direktur programnya langsung," ujar Dini dilansir dari Kompas.com, Jumat 19 Juni 2020.
Sementara itu, Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman juga enggan menanggapi temuan KPK atas program yang dijanjikan Presiden Jokowi pada masa kampanye Pilpres 2019.
Dia beralasan permasalahan itu terlalu teknis, sehingga meminta wartawan bertanya langsung ke PMO Kartu Prakerja.
"Problemnya sudah sangat teknis, terkait kementerian/lembaga terkait, mohon untuk Kartu Prakerja ke Ibu Denni Purbasari, Direktur Eksekutif PMO Kartu Prakerja," ujarnya.
Untuk diketahui, adapun sejumlah permasalahan pada empat aspek yakni aspek pertama yang mendapat sorotan yakni proses pendaftaran. Ada 1,7 juta pekerja terdampak (whitelist) sesuai data Kementerian Ketenagakerjaan dan BPJS Ketenagakerjaan. Namun, faktanya, hanya sebagian kecil dari whitelist tersebut yang mendaftar secara daring, yaitu 143.000 orang.
Kedua, KPK menemukan kerja sama dengan delapan platform digital tidak melalui mekanisme pengadaan barang dan jasa pemerintah. Dalam hal ini, KPK mendorong agar pemerintah meminta legal opinion kepada Kejaksaan Agung tentang kerja sama delapan platform digital dalam program Kartu Prakerja, termasuk penyediaan barang dan jasa pemerintah atau bukan.
Ketiga, KPK juga menilai, kurasi materi pelatihan tidak dilakukan dengan kompetensi yang memadai. Alex menyebut hanya 13 persen dari 1.895 pelatihan yang memenuhi syarat, baik materi maupun penyampaian secara daring.
Keempat, KPK menilai metode pelaksanaan program pelatihan secara daring rawan jadi fiktif, tidak efektif, dan dapat merugikan keuangan negara.