Bintang Emon Diserang, Kontras: Bentuk Intimidasi Kebebasan Sipil
RIAU24.COM - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai serangan terhadap komedian Bintang Emon mengancam demokrasi.
Peneliti KontraS, Rivanlee Anandar, menjelaskan gangguan itu menunjukkan adanya upaya pembungkaman terhadap individu atau kelompok yang menggunakan hak konstitusional untuk menyeimbangkan narasi negara.
"Meski belum diketahui dari mana asal (dalang) pengganggu, ini adalah salah satu bentuk intimidasi terhadap kebebasan sipil, untuk berekspresi," ujarnya, dilansir dari Tempo.co, Senin, 15 Juni 2020.
Untuk diketahui, komedian Bintang Emon mendapat serangan balik melalui media sosial setelah mengunggah video yang membahas rendahnya tuntutan terhadap terdakwa penyerang penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, Novel Baswedan. Dua terdakwa penyiram air keras terhadap Novel hanya dituntut satu tahun penjara.
Di video tersebut, Bintang mempertanyakan alasan jaksa menuntut satu tahun, yakni terdakwa tak sengaja menyiram muka Novel Baswedan. Dia mengatakan gravitasi bumi tak memungkinkan pelaku menyiram air keras yang mengarah ke badan Novel tetapi meleset ke arah wajah.
"Kecuali Pak Novel Baswedan emang jalannya hand stand. Bisa lu protes, Pak Hakim, saya niatnya nyirem badan, tapi gara-gara dia jalannya betingkah jadi kena muka. bisa, masuk akal. Sekarang tinggal kita cek, yang kagak normal cara jalannya Pak Novel Baswedan apa hukuman buat kasusnya?" ujar Bintang dalam video unggahannya itu.
Masih menurut Rivanlee, serangan semacam ini banyak terjadi terhadap pegiat HAM dan demokrasi. Seiring dengan perkembangan teknologi, model serangan menjalar menjadi intimidasi siber dengan doxxing, fitnah (defamation), atau berita bohong tentang seseorang yang sedang mengkritik negara.
Sialnya, kata dia, pola penegakan hukum kerap sebelah mata dan tak tegas sehingga peristiwa semacam ini terus berulang. Rivanlee juga menyebut ketidaktegasan hukum menandakan adanya teror terhadap warga yang berekspresi tentang kebijakan negara.
"Peristiwa ini jelas mengancam demokrasi karena pihak yang tidak diketahui ini seolah mengambil alih peran negara untuk melakukan intimidasi verbal/nonverbal. Ketakutan yang menyebar akan menjadi teror yang melumpuhkan fungsi masyarakat," jelas Rivanlee.