Dokumen Intelijen Bocor, Fakta China Sembunyikan Info Corona Terungkap
RIAU24.COM - Sebuah dokumen mata-mata mengungkapkan bahwa pemerintah China telah berbohong kepada dunia tentang coronavirus dengan menutup-nutupi wabah yang kini telah menewaskan puluhan ribu orang di dunia. Dokumen setebal 15 halaman itu diperoleh The Saturday Telegraph Australia.
Dokumen itu mengungkapkan bahwa sebuah laboratorium di Wuhan yang letaknya tidak jauh dari pasar hewan, telah mempelajari coronavirus atau virus corona mematikan yang berasal dari kelelawar. Dokumen dari badan intelijen Five Eyes yang terdiri dari Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Australia dan Selandia Baru, menyatakan bahwa kerahasiaan China seputar virus tersebut menyebabkan 'serangan' terhadap transparansi internasional.
"Meskipun ada bukti penularan antar manusia dari awal Desember, otoritas China menyangkal itu sampai 20 Januari 2020. WHO melakukan hal yang sama. Namun pemerintah di Taiwan mengemukakan kekhawatiran paling cepat pada 31 Desember, seperti yang dilakukan para ahli di Hong Kong pada 4 Januari," tulis dokumen tersebut, dilansir dari Viva mengutip dari The Sun, Sabtu 2 Mei 2020.
Dokumen rahasia juga membahas pembungkaman China atau 'menghilangnya' para dokter yang mencoba berbicara tentang virus, perusakan bukti di laboratorium dan menolak memberikan sampel kepada para ilmuwan yang mengerjakan vaksin. Dokumen tersebut secara khusus merinci bahwa China mulai melakukan sensor pemberitaan virus sejak 31 Desember 2019.
Menurut dokumen itu, negara menghapus beberapa istilah dan kata kunci pencarian seperti 'variasi SARS', 'pasar hewan laut Wuhan' dan 'Wuhan Unknown Pneumonia' dari mesin pencari. Dokumen juga membahas bagaimana China memberlakukan larangan bepergian pada warganya sendiri, tetapi mengatakan kepada negara-negara lain bahwa pembatasan pergerakan tidak diperlukan.
"Jutaan orang meninggalkan Wuhan setelah wabah dan sebelum Beijing mengunci kota pada 23 Januari. Sepanjang Februari, China menekan AS, Italia, India, Australia dan negara tetangga di Asia Tenggara untuk melindungi diri mereka sendiri melalui pembatasan perjalanan," ungkap dokumen tersebut.