Memalukan, Ternyata Uang Suap Yang Diminta Walikota Medan Untuk Bawa Keluarga Jalan-jalan ke Jepang
RIAU24.COM - JAKARTA- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan Operasi Tangkap Tangan terhadap Wali Kota Medan, Dzulmi Eldin terkait gratifikasi proyek dan jabatan pada Pemerintah Kota (Pemkot) Medan tahun 2019.
Selain Dzulmi, KPK juga menetapkan dua orang tersangka lainnya yakni Kepala Dinas PUPR Kota Medan Isa Ansyari dan Kepala Bagian Protokoler Kota Medan Syamsul Fitri Siregar (SFI).
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengungkap, Eldin dan Syamsul Fitri Siregar diduga menerima sejumlah uang dari Isa Ansyari berkaitan dengan jabatan Isa Ansyari yang diangkat sebagai Kadis PUPR Medan oleh Dzulmi Eldin, KPK juga menyebutkan biaya perjalanan bareng keluarga penyebab suap itu.
"TDE melakukan perjalanan dinas ke Jepang didampingi beberapa kepala dinas di lingkungan Pemerintah Kota Medan pada bulan Juli 2019. Perjalanan dinas ini dalam rangka kerja sama “sister city” antara Kota Medan dan Kota Ichikawa di Jepang," jelasnya.
Mirisnya, dalam perjalanan dinas tersebut, di luar rombongan Pemerintah Kota Medan, Dzulmi mengajak serta istri, dua orang anak, dan beberapa orang lainnya yang tidak berkepentingan.
Keluarga Tengku Dzulmi bahkan memperpanjang waktu tinggal di Jepang selama tiga hari di luar waktu perjalanan dinas. Di masa perpanjangan tersebut mereka didampingi oleh Kasubbag Protokol Pemerintah Kota Medan, yaitu Syamsul Fitri Siregar.
“Akibat keikutsertaan pihak-pihak yang tidak berkepentingan, terdapat pengeluaran perjalanan dinas wali kota yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dan tidak bisa dibayarkan dengan dana APBD. Pihak tour and travel kemudian menagih sejumlah pembayaran tersebut kepada TDE,” ungkap Saut seperti dilansir pojoksatu.id.
Eldin kemudian bertemu dengan Syamsul dan memerintahkannya untuk mencari dana dan menutupi ekses dana non-budget perjalanan ke Jepang tersebut dengan nilai sekira Rp800 juta. “Kadis PUPR lalu mengirim Rp200 juta ke wali kota atas permintaan melalui protokoler untuk keperluan pribadi wali kota,” ungkap Saut
Kemudian pada 10 Oktober 2019, Syamsul menghubungi ajudannya dan menyampaikan adanya keperluan dana sekitar Rp 800-900 juta untuk menutupi pengeluaran di Jepang. “Syamsul kemudian membuat daftar target kepala dinas yang akan dimintakan kutipan dana, termasuk di antaranya adalah kadis-kadis yang ikut berangkat ke Jepang,” kata Saut.
Lalu pada 13 Oktober 2019, SFI menghubungi IAN untuk meminta bantuan dana sebesar Rp 250 juta. Selanjutnya pada 15 Oktober 2019, IAN mentransfer Rp 200 juta ke rekening tersebut dan melakukan konfirmasi kepada SFI. Sisanya, Rp 50 juta dibawa kabur oleh staf protokoler Walikota, AND.
“AND kemudian kabur bersama uang sebesar Rp 50 juta tersebut dan belum diketahui keberadaannya hingga saat ini,” demikian Saut.
Sebagai pihak yang diduga penerima, TDE dan SFI disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 UU 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sebagai pihak yang diduga pemberi: IAN disangkakan melanggar pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 UU 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. ***