Sanksinya Merembet Hingga ke Mana-mana, Begini Respon Terhadap BPJS Kesehatan
RIAU24.COM - Selain rencana kenaikan iurannya yang banyak ditolak, BPJS Kesehatan juga mendapat sorotan karena penerapan sanksi, bagi mereka yang menunggak iuran. Pasalnya, ancaman sanksi tersebut merembet ke mana-mana dan menyentuh sektor lain.
Selain dinilai tak akan efektif meningkatkan kepatuhan pembayaran iuran, penerapan sanksi itu juga dinilai banyak menimbulkan kerugian di tengah-tengah masyarakat.
Penilaian terkait penerapan sanksi itu, salah satunya datang dari anggota Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) DPR RI, Saleh Partaonan Daulay.
Dilansir republika, Jumat 11 Oktober 2019, daripada memberikan sanksi kepada penunggak iuran, BPJS Kesehatan sebaiknya diberikan kesempatan terlebih dahulu untuk meningkatkan kepatuhan pembayaran iuran melalui jaringan yang tersebar di seluruh Indonesia.
Apalagi, BPJS Kesehatan sejak 2016 telah memiliki kader Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang siap membantu melaksanakan tugas tersebut.
Karena itu, ia juga meminta pemerintah mengkaji ulang kebijakan tersebut. "Kalau diancam dengan sanksi, saya khawatir tidak efektif. Masyarakat bisa saja merasa tidak nyaman," ujarnya, Kamis (10/10/2019).
Selain itu, sanksi berupa pembatasan akses layanan publik, juga tidak akan efektif meningkatkan kepatuhan pembayaran iuran. Apalagi. sanksi-sanksi tersebut tidak bersifat segera, tidak mengikat, serta hanya jangka pendek. Padahal, iuran BPJS Kesehatan perlu dibayar setiap bulan.
"Kalau pakai sanksi itu, orang tidak akan khawatir karena IMB, SIM, STNK, paspor, dan sertifikat tanah tidak selalu dibutuhkan. Paspor, misalnya, hanya diperlukan ketika ada seseorang yang ingin ke luar negeri," tambahnya.
Banyak Merugikan
Sementara dari masyarakat, kebanyakan menilai sanksi pembatasan layanan publik itu hanya akan menimbulkan banyak kerugian bagi masyarakat.
Seperti dituturkan Agung Ranin (34), Warga Ungaran, Kabupaten Semarang, gara-gara sanksi itu, kebutuhan masyarakat bakal terganggu.
“Misalnya, mau kredit, pengajuannya terganjal oleh tunggakan iuran BPJS Kesehatan, padahal semuanya juga merupakan kebutuhan,” ujarnya.
Ia mengakui, BPJS Kesehatan sangat bermanfaat dan membantu masyarakat yang menjadi peserta. Namun, sanksi pembatasan akses layanan publik dikhawatirkan membuat persoalan yang dihadapi peserta BPJS Kesehatan makin kompleks.
Semestinya, pemerintah mencari skema lain dalam mengurangi defisit keuangan BPJS Kesehatan, tanpa harus memaksakan penerapan sanksi-sanksi administrasi yang lain.
“Karena keterlambatan atau tunggakan bukan tidak semuanya disebabkan oleh ketidakpatuhan. Bisa jadi situasi yang belum memungkinkan,” ujarnya.
Sedangkan Tia, warga asal Bandung, menilai, penerapan sanksi tak akan efektif meningkatkan kepatuhan peserta dalam membayar iuran. Apalagi, iuran BPJS bakal dinaikkan pada tahun depan.
Menurutnya, peserta mandiri yang penghasilannya pas-pasan, telat membayar bukan karena tak disiplin. Melainkan karena harus memenuhi kebutuhan lainnya.
"Kalau uangnya tidak ada, ya bagaimana mau membayar? Apalagi, nanti iuran akan naik. Warga bukannya enggak mau bayar, tapi mungkin uangnya pas-pasan," ujarnya/
Pemerintah saat ini sedang menyusun instruksi presiden (inpres) untuk menjalankan aturan mengenai penjatuhan sanksi. Draf inpres dikabarkan sudah berada pada tahap akhir dan akan segera rampung.
Asisten Deputi Jaminan Sosial Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Togap Simangunsong mengatakan, penyusunan dan pembahasan inpres melibatkan sekitar 28 kementerian/lembaga dan dikoordinasikan oleh Kemenko PMK. Saat ini, sudah memasuki tahap akhir. ***