Wamena Rusuh, Tokoh Papua di Luar Negeri Ini Minta PBB dan Komisi Tinggi HAM Investigasi
RIAU24.COM - Kerusuhan yang terjadi di Wamena mendapat reaksi keras dari Ketua Gerakan Persatuan Pembebasan Papua Barat (ULMWP), Benny Wenda. Ia mendesak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan negara kepulauan di Pasifik untuk membantu menghentikan kerusuhan yang terjadi di Papua.
Benny juga meminta Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia PBB (OHCHR) untuk segera mengunjungi provinsi paling timur di Indonesia itu demi memastikan situasi di wilayah tersebut.
"Pembantaian dan kekerasan terus terjadi menyusul pengerahan 16 ribu tentara Indonesia (ke Papua) sejak Agustus lalu. OHCHR harus mengunjungi Papua Barat sekarang, dan negara kepulauan di Pasifik harus membantu merealisasikan ini," kata Benny seperti dikutip CNNIndonesia.com pada Selasa (24/9).
Langkah itu, kata Benny, sejalan dengan seruan negara Pasifik dalam dokumen joint communique yang disahkan dalam Pacific Islands Forum (PIF) pada pertengahan Agustus lalu.
Dalam dokumen tersebut, negara Pasifik mendesak OHCHR menyelidiki situasi HAM yang memburuk di Papua dalam satu tahun terakhir. Sejumlah negara Pasifik seperti Vanuatu dan Tuvalu memang telah lama menyoroti dugaan pelanggaran HAM di Papua.
Negara-negara tersebut bahkan beberapa kali mengangkat isu tersebut dalam rapat PBB, sebuah langkah yang selalu dikecam Indonesia.
Polri menyebut kerusuhan di Wamena dipicu oleh peredaran berita hoaks terkait rasialisme. Sementara di Jayapura kerusuhan berawal dari permintaan mahasiswa eksodus agar pihak Universitas Cenderawasih membentuk posko untuk mahasiswa eksodus.
Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian menjelaskan kerusuhan dipicu oleh kabar yang belum jelas dari SMA PGRI. Di sekolah itu disebut Tito ada seorang guru sedang mengajar, lalu meminta muridnya tidak berkata keras. Namun yang didengar oleh para murid justru perkataan 'kera'. "Mungkin tone di Papua berbeda dengan tempat lain. Nah itu terdengarnya S-nya agak lemah," ujar Tito.
Polisi masih menyelidiki kabar tersebut. Sebab, kata Tito, kabar tersebut disebar oleh kelompok yang berafiliasi dengan Komite Nasional Papua Barat (KNPB) dan berkembang di masyarakat. Kelompok itu menyebar isu dengan mengenakan seragam SMA. ***