Menu

Karena Hal ini, Komitmen Jokowi Lindungi Anak Dipertanyakan

M. Iqbal 13 Jul 2019, 10:30
Presiden Joko Widodo
Presiden Joko Widodo

RIAU24.COM - Sikap Presiden Joko Widodo yang mengabulkan permohonan grasi terhadap terpidana kasus pencabulan siswa Jakarta Intercultural School (JIS), Neil Bantleman, dipertanyakan.

Ahli Psikologi Forensik, Reza Indragiri Amriel mempertanyakan kebihakan Jokowi soal perlindungan anak-anak terhadap kasus kekerasan seksual dipertanyakan.

"Mari kita takar konsistensi kebijakan Presiden. Dengan mengajukan grasi, berarti terpidana mengaku bersalah. Pada sisi lain, Presiden Jokowi menyatakan bahwa kekerasan seksual terhadap anak merupakan kejahatan luar biasa," kata dia dilansir dari detik.com, Sabtu, 13 Juli 2019.

zxc1

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sebelumnya juga pernah menyatakan jika Indonesia sedang darurat kejahatan seksual terhadap anak. Dia menilai, seharusnya pemerintah menjadikan pernyataan KPAI sebagai dasar komitmen untuk melindungi anak-anak dari kejahatan seksual.

Dia kemudian mengungkap hasil penelitian yang menyatakan predator anak kerap mengulangi perbuatan. "Sekarang, kita lihat hasil studi. Berbasis data sejak 1958 hingga 1974, misalnya, diketahui bahwa 42% predator melakukan residivisme. Pengulangan perbuatan jahat itu mencakup kejahatan seksual, kejahatan dengan kekerasan, dan kombinasi keduanya," jelasnya.

Dia menjelaskan, adanya penerbitan UU 17/2016 tentang Perlindungan Anak merupakan langkah awal untuk melindungi anak. Di dalam UU tersebut juga diatur ketegasan hukum terhadap para predator anak-anak, termasuk pemberatan sanksi.
zxc2

"Dengan sebutan-sebutan sedahsyat itu, data seserius itu, dan ancaman sanksi seberat itu, bagaimana lantas publik bisa memahami bahwa grasi justru Presiden berikan kepada orang yang melakukan kejahatan luar biasa (dan turut berkontribusi bagi terjerumusnya Indonesia ke dalam situasi darurat)?" demikian Reza.