Demokrasi Indonesia di Ujung Tanduk, YLBHI Ingatkan Kepolisian: Jangan Sembarangan Gunakan Kata Makar
RIAU24.COM - Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati, menilai, demokrasi Indonesia saat ini sedang dalam bahaya alias di ujung tanduk. Salah satu penyebabnya, adalah terkait langkah Kepolisian yang dinilainya sembarangan dalam menggunakan kata makar, khususnya terhadap aktivis oposisi.
Karena itu, pihaknya mengingatkan pihak Kepolisian berhati-hati dan tidak sembarangan dalam menggunakan istilah makar tersebut.
“Penggunaan pasal makar oleh kepolisian secara sembarangan jadi salah satu poin pemerintah (berperilaku) membahayakan demokrasi,” ungkapnya, Selasa 14 Mei 2019 kemarin.
Dilansir republika, Rabu 15 Mei 2019, YLBHI menganggap penggunaan istilah itu tidak tepat dan bertentangan dengan substansi hukum.
Menurutnya, demokrasi di Indonesia saat ini sedang dalam bahaya. Salah satu indikasinya, adalah pengenaan pasal makar terhadap lawan pemerintah alias oposisi.
Seperti diketahui, sejauh ini politisi PAN Eggi Sudjana, termasuk tokoh yang telah ditetapkan sebagai tersangka makar. Penetapan itu dilakukan Polda Metro Jaya. Sejumlah tokoh lainnya, yang umumnya bergabung dalam kubu calon presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto, juga telah dilaporkan ke Kepolisian dengan kasus serupa. Laporan tersebut saat ini telah diberikan ke Polda Metro Jaya. Sama halnya dengan Eggi Sudjana, pelapor para tokoh tersebut adalah caleg PDIP bernama Dewi Ambarwati alias Dewi Tanjung.
Terkait penggunaan kata makar tersebut, Asfinawati mengatakan, pasal 104 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang diterjemahkan sebagai makar dalam bahasa Belanda tertulis aanslag. Kata itu, menurut dia, bermakna 'serangan yang berarti ditujukan pada kepala negara'.
“Artinya, apabila tidak ada serangan atau percobaan serangan maka belum dapat dikatakan makar,” terangnya.
YLBHI menyayangkan pihak kepolisian yang menggunakan pasal makar untuk menjerat beberapa pihak. Menurutnya, hal itu seolah menjadi pertanda bahwa siapa yang melawan pemerintah, akan diganjar dengan pasal makar.
Padahal, pihak yang dianggap melawan pemerintah hanya mengutarakan kritik terhadap pemerintah.
“Kalau ada pelanggaran hukum ya pakai pelanggaran hukum yang ada. Kalau tidak ada, ya dibebaskan. Tapi, jangan sampai menggunakan pasal makar sembarangan,” ingantnya.
Asfinawati mengatakan, ada 11 indikasi terancamnya negara hukum Indonesia yang disebabkan kebijakan pemerintah. Di antaranya, adalah SK Menko Polhukam Nomor 38 Tahun 2019 tentang Tim Asistensi Hukum; penggunaan pasal makar oleh kepolisian secara sembarangan; serta pemerintah setuju memasukkan pasal makar, penghinaan presiden, dan penodaan agama dalam rancangan KUHP.
Menurutnya, negara hukum ditandai dengan supremasi hukum, hak untuk diproses lewat peradilan, dan tidak dijatuhi hukuman secara sewenang-wenang.
Namun yang terjadi saat ini, 11 indikasi tersebut justru mengarah pada penghambatan kebebasan sipil untuk berpikir, berkumpul, atau berkeyakinan.
3 Sikap
Menyikapi hal itu, YLBHI menyatakan tiga sikap. Pertama, mengingatkan pemerintah bahwa Indonesia adalah negara hukum dan pemerintah terikat pada konstitusi. Selanjutnya, YLBHI meminta kebijakan yang tak sesuai dengan hukum dan rule of law dicabut dan segera dihentikan. Terakhir, YLBHI meminta pemerintah tidak lagi mengeluarkan kebijakan yang melawan hukum, bertentangan dengan rule of law dan merusak demokrasi. ***