Sedang Dibutuhkan di Indonesia, ini Tiga Kriteria Pemimpin yang Amanah
RIAU24.COM - Tanggal 17 April 2019 nanti, Indonesia akan menyelenggarakan pesta demokrasi untuk memilih nasib bangsa dan negara untuk 5 tahun mendatang. Nantinya, Indonesia akan memilih presiden dan wakil presiden, DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota.
Berkiatan dengan seorang pemimpin, mereka yang mendapat jabatan yang diemban haruslah bersikap amanah. Apalagi amanah adalah satu di antara empat sifat Nabi dan Rasul selain Shiddiq (benar), Tabligh (menyampaikan kepada umat), dan Fathanah (cerdas).
Dilansir dari Bincangsyariah.com, Minggu, 24 Maret 2019, sifat amanah juga menjadi sifat pemimpin yang tercantum dalam al-Quran, tepatnya dalam Q.S Al-Nisa [4]: 58,
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran kpadamu. Sunggguh, Allah Maha Mendengar, Maha Melihat.
zxc1
Berkaitan dengan penjelasan ayat di atas, Ahmad bin Mustafa al-Maraghi menerangkan bahwa amanah, sedikitnya ada tiga jenis: amanah seorang hamba kepada Tuhannya, amanah seseorang kepada orang lain, dan amanah kepada diri sendiri. Berikut ini penjelasannya.
Pertama, seseorang yang tidak berambisi untuk menduduki jabatan itu, apalagi sampai menghalalkan segala cara demi mendapatkan kekuasaan atau jabatan. Hal ini sesuai dengan hadis sahih yang diriwayatkan Abu Musa al-Asy’ari, Rasulullah saw bersabda:
قال أَبُو مُوسَى: دَخَلْتُ عَلَى النَّبِىِّ (صلى الله عليه وسلم) أَنَا وَرَجُلانِ مِنْ قَوْمِى، فَقَالَ أَحَدُ الرَّجُلَيْنِ: أَمِّرْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَقَالَ الآخَرُ مِثْلَهُ، فَقَالَ: إِنَّا لا نُوَلِّى هَذَا مَنْ سَأَلَهُ، وَلا مَنْ حَرَصَ عَلَيْهِ (رواه البخاري)
Abu Musa berkata: Suatu ketika aku menghadap Nabi Saw bersama dua orang dari kaumku. Salah satu dari mereka berkata: “Wahai Rasul, angkatlah aku jadi pemimpin.” Dan seorang lagi juga mengatakan hal yang sama. Kemudian Rasulullah saw. bersabda: “Sungguh kami tidak akan menyerahkan kepemimpinan ini kepada orang yang memintanya, dan tidak pula kepada yang berambisi untuk meraihnya. (HR. Bukhari)
Dari hadis tersebut, pelajaran yang dapat diambil adalah memberikan amanah (hak pilih) kepada orang yang meminta saja tidak diperkenankan, apalagi ketika seseorang yang menggunakan segala cara untuk memperoleh sebuah jabatan, seperti misalnya dengan suap dan lain sebagainya. Jelas hal ini adalah haram. Sosok calon pemimpin yang seperti ini jelas akan sulit berlaku amanah.
zxc2
Kedua, kriteria pemimpin yang amanah sebagaimana diajarkan Rasulullah adalah seseorang yang taat ibadah, memiliki kapabilitas dalam memimpin, dan mempunyai relasi sosial yang baik dengan masyarakat.
Teladan seperti ini dapat kita cari dari sepenggal kisah Umar bin Khattab, yaitu ketika ia menjadi khalifah menggantikan Abu Bakar. Pada suatu kesempatan, Umar bin Khattab mengangkat Nafi’ bin al-Harits sebagai gubernur Mekah.
Sebagai gubernur, Nafi’ memilih Ibnu Abza untuk menjadi pemimpin di suatu distrik di daerah lembah dekat Mekah. Padahal semua orang tahu bahwa Ibnu Abza bukanlah dari suku yang terhormat, Ia hanyalah bekas budak di komunitas tersebut.
Saat Umar bin Khattab mengonfirmasi hal tersebut, Nafi’ in al-Harits menjawab, “Ia memang bekas budak, tetapi ia hafal Alquran, paham masalah waris (faraidh), dan dapat memutuskan persoalan masyarakat dengan adil.” Atas keputusan Nafi’, Umar bin Khattab pun memujinya karena melihat kapabilitas dan keadilannya. Kisah ini dapat ditemukan dalam Musnad Imam Ahmad.
Ketiga, pemimpin yang amanah adalah seseorang yang dalam kesehariannya tidak bermewah-mewahan dan hidup sederhana sesuai kebutuhannya. Pemimpin yang hidup sederhana dapat imun (tahan) terhadap godaan kemewahan dunia.
Ancaman Nabi saw. terhadap pejabat yang korup sebagaimana dapat kita lihat dari hadis di bawah ini:
مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللهُ رَعِيَّةً، يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ، إِلَّا حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
Tidaklah seorang hamba pun yang diberi amanah oleh Allâh untuk memimpin bawahannya yang pada hari kematiannya ia masih berbuat curang atau menipu rakyatnya, melainkan Allâh mengharamkan surga atasnya.