Sadis, Ternyata Inilah Sosok Yang Ilhami Branton Tarrant Lakukan Pembantaian di Mesjid
RIAU24.COM - Melalui manifesto berjudul "The Great Replacement" yang dia buat sendiri, terungkap pelaku penembakan di mesjid Selandia Baru, Branton Tarrant sudah merencanakan aksi kejinya selama dua tahun terakhir.
Dalam manifesto setebal 74 halaman itu, Tarrant memperkenalkan diri sebagai anti-imigran dengan menyebut para korbannya sebagai "sekelompok penjajah" yang ingin membebaskan tanah milik kaumnya dari "para penjajah".
Ia mengaku melakukan hal itu karena telah terpapar aliran dari Anders Breivik. Lantas siapa sebenarnya sosok Anders Breivik yang berhasil menanamkan semangat kekejian dalam diri Branton Tarrant?
Nama Anders Breivik mulai mencuat ketika ia melancarkan aksi terorisme di kantor pemerintah di Oslo, Norwegia. Pada 22 Juli 2011, Anders Breivik membunuh delapan orang dalam serangan bom di luar wilayah pemerintahan di Oslo. Dia kemudian melanjutkan aksinya dengan melacak dan membunuh 69 orang dan melukai 90 lainnya, yang sebagian besar berusia remaja.
Pria berwajah rupawan itu akan adalah seorang penganjur anarki, pembenci bangsa lain, dan penebar teror dengan menjadi salah satu pembunuh tunggal paling berdarah dalam sejarah dunia.
Anders lahir di Inggris, 13 Februari 1979. Ibunya adalah seorang perawat, yang diceraikan ayahnya saat Anders berusia satu tahun. Sejak saat itu, Anders dibesarkan ibunya di Oslo, di tengah lingkungan keluarga kelas menengah.
Dalam catatan pribadi yang ia unggah di internet, Anders mengaku tak pernah punya masalah besar atau kesulitan keuangan semasa kanak-kanak, begitu pula pada saat diwawancarai.
”Saya beruntung dibesarkan dengan orang-orang cerdas dan bertanggung jawab di sekitar saya,” tutur Anders, yang menyebut kedua orangtuanya adalah pendukung Partai Buruh Norwegia.
Salah satu teman sekolah Anders, Michael Tomala, mengaku kaget melihat Anders saat ini menjadi pembenci imigran dari negara-negara Timur Tengah. ”Salah satu teman baiknya dulu adalah seorang dari Timur Tengah, dan waktu itu mereka terlihat berteman baik sampai lulus SMP,” kenang Tomala.
Anders sendiri mengaku, pandangan hidupnya mulai berubah pada suatu hari di tahun 1991 saat Perang Teluk I berkecamuk di Irak. Anders merasa terganggu saat seorang temannya yang Muslim bersorak gembira saat mendengar laporan pasukan Amerika diserang rudal- rudal Irak.
”Saya masih bodoh dan apolitis waktu itu, tetapi sikapnya yang sama sekali tak menghormati bangsa saya (dan bangsa Barat secara umum) benar-benar memicu minat dan hasrat saya waktu itu,” ujar Anders dalam manifestonya setebal 1.500 halaman seperti dilansir grid.id.
Rasa tak nyaman dengan satu temannya yang berasal dari latar belakang bangsa dan kultur berbeda itu ia bawa dan pelihara hingga beranjak dewasa. Tahun 1999, Anders menjadi anggota Partai Kemajuan, partai berhaluan kanan yang mengkritik kebijakan Pemerintah Norwegia mengizinkan arus imigran dari negara-negara Timur Tengah. Saat aktif di partai tersebut, Anders pun tidak menonjol.
Anders pun kemudian keluar dari partai pada tahun 2004-2006 dengan alasan partai tersebut masih terlalu terbuka terhadap ”tuntutan multikultural” dan ”gagasan humanisme yang menghancurkan diri sendiri”.
Meski ia terang-terangan menunjukkan pandangan Islamophobia dan anti-multikulturalisme dalam manifestonya, Anders bersikeras dirinya bukan seorang rasis. Ia juga mengaku tidak suka dengan gerakan Neo-Nazi.***
R24/bara