Tak Terima Disebut Maen Mata, Wasit Liga 1 Ini Aniaya Pemain Bola U-17
RIAU24.COM - Wasit asal Pekanbaru yang aktif sebagai pengadil lapangan hijau pada liga sepak bola tertinggi Indonesia, Liga 1 serta satu-satunya wasit asal Provinsi Riau yang telah mengantongi lisensi FIFA sejak 2018 lalu tengah berhadapan dengan proses hukum.
Wasit berinisial AGP alias Agus Prima tersebut diduga telah menganiaya seorang pesepakbola belia saat turnamen U-17 yang digelar di Stadion Kaharudin Nasution.
Paur Humas Polresta Pekanbaru, Ipda Budhianda kepada awak media di Pekanbaru, Kamis membenarkan adanya laporan tersebut.
Dia menjelaskan saat ini penyidik Satuan Reserse Kriminal Polresta Pekanbaru tengah mendalami laporan insiden penganiayaan itu."Saat ini proses penyelidikan tengah berjalan," kata Budhi Kamis sore.
Budhi mengatakan bahwa laporan polisi perkara penganiayaan berat yang menyebabkan bagian mata korban atas nama Nurul Ilham Rezkianda (17) terluka parah hingga berdarah itu sudah ditangani Unit III Satreskrim Polresta Pekanbaru.
Dalam proses penyelidikan, korban Ilham beserta dua saksi berikut manager tim sepakbola dan pelatih turut telah menjalani pemeriksaan di Mapolresta Pekanbaru, Rabu petang kemarin (13/2).
Sementara itu,.Ilham dan manager tim Adam Fauzi dihadapan media menjelaskan insiden penganiayaan tersebut terjadi pada pekan pertama Februari 2019 lalu.
"Saat itu, korban yang tergabung dalam kesebelasan Bantan FC mengikuti turnamen U-17 bertema Singapura, Johor, Riau (Sijori) Championship di Stadion Kaharudin Nasution Pekanbaru."sebut Adam.
Sijori Championship ini merupakan turnamen persahabatan antara tiga negara, yakni Singapura, Johor (Malaysia) dan Riau (Indonesia). Dari Riau sendiri diwakili oleh empat klub.
Belakangan, kata Adam, dua negara tetangga membatalkan hadir. Sehingga turnamen hanya diikuti empat klub asal Riau, yakni Bengkalis (Bantan FC), Kampar, Rokan Hulur dan Pusat Pembinaan Pelatihan Pelajar (PPLP) Riau.
Adam menjelaskan bahwa insiden pemukulan berawal ketika tim Bengkalis yang telah mengantongi empat poin melakukan protes, akibat pertandingan dua tim lainnya terindikasi pengaturan skor.
Saat itu, dia mengatakan Agus tidak memimpin pertandingan, namun tengah berada di tempat panitia selaku ketua pengadil lapangan hijau.
Protes yang dilayangkan Adam ternyata membuat Agus berang. Tim Bengkalis yang telah meninggalkan stadion dan sebagai bentuk protes meninggalkan turnamen dikejar Agus serta dua rekan offisial pertandingan lainnya hingga parkiran.
"Dengan kasar dia menyebut kami orang kampung. Bahkan, dia juga memukul pemain kami dengan tinju tangan kanannya hingga anak kami berdarah," ujarnya.
Tak sampai disitu, Agus juga menantang kepada tim sepakbola Bantan FC melaporkannya ke Polisi.
"Kami langsung membuat laporan polisi. Awalnya ke Polda Riau namun kemudian diarahkan ke Polresta Pekanbaru. Anak kami juga sudah divisum," lanjut Adam.
Adam melanjutkan bahwa sejak awal mereka melihat beberapa kejanggalan terkait turnamen tersebut. Kejanggalan pertama dan paling mencolok adalah tidak adanya aparat pengamanan saat pertandingan berlangsung.
Selanjutnya, Adam mengatakan panitia penyelenggara bahkan tidak menyiapkan tim medis di turnamen yang awalnya disebut level Asia Tenggara itu.
Kejanggalan lainnya adalah panitia dengan gampang mengubah jadwal pertandingan. Bahkan, dia mengatakan saat turnamen sedang berjalan timnya sempat diminta bermain dua kali, pagi dan sore.
"Kami sejak awal sudah melihat adanya beberapa kejanggalan. Namun, karena kami sudah jauh-jauh dari Bengkalis ke Pekanbaru, dengan dana pribadi, kantong kami sendiri. Saya tidak ingin mengecewakan anak-anak sehingga tetap ikuti pertandingan," ujarnya.
Hingga akhirnya, pertandingan berakhir pada dugaan "kongkalikong" dan berujung pada aksi pemukulan.
"Namun, itu semua tidak kami persoalkan. Yang kami inginkan saat ini keadilan. Bagaimana mungkin sepakbola kita maju jika pada usia belia saja sudah terjadi kecurangan dan dipertontonkan aksi kekerasan," pungkas Adam.