Hadapi Rusia, Pangeran Harry akan Gabung Latihan Perang Terbesar
RIAU24.COM - Pangeran Harry dari Kerajaan Inggris akan mengambil bagian dalam salah satu latihan perang terbesar selama 12 minggu di Norwegia. Tujuan dari latihan itu sebagai persiapan untuk melawan invasi Rusia.
Keterlibatan putra mendiang Lady Diana dalam latihan perang itu diungkap sumber-sumber militer dan Kerajaan Inggris yang dipublikasikan The Mirror.
Pangeran Harry atau Duke of Sussex yang berusia 34 tahun itu sejatinya telah meninggalkan Angkatan Bersenjata pada Juni 2015. Namun, menurut laporan media tersebut, dia akan bergabung dengan sekitar 1.000 personel Korps Marinir di Norwegia untuk melindungi sayap utara Eropa jika terjadi serangan militer oleh Moskow.
“Pangeran Harry akan benar-benar larut dalam latihan, dan dia akan mengetahui rahasia rencana pertempuran yang sangat rahasia," kata sumber militer senior Inggris.
"Ini akan menjadi tempo tinggi, sangat realistis dan keterlibatannya adalah berita baik bagi Marinir, yang akan melihat keterlibatannya sebagai pesan dorongan yang sangat positif kepada Korps. Mereka adalah kekuatan utama yang akan melindungi sayap utara Eropa jika terjadi konflik, ujung tombak, dan yang penting Harry ada di antara pasukan," lanjut sumber tersebut yang dilansir Sabtu (5/1/2019).
Pangeran Harry sendiri dilaporkan telah memberi tahu orang-orang kepercayaannya bahwa dia senang bisa kembali ke militer Inggris.
"Duke sedang menikmati perannya dengan Marinir Kerajaan dan menganggapnya sangat serius. Kakeknya, Pangeran Philip, melaksanakan tugasnya dengan Marinir dengan sangat istimewa, yang sangat dikagumi Harry. Sepanjang karier militernya, Harry selalu memiliki rasa hormat dan kekaguman terbesar bagi Marinir dan dia selalu terpesona oleh keberanian mereka," kata orang dalam Kerajaan Inggris.
Marinir Kerajaan Inggris berangkat ke Norwegia pada Hari Tahun Baru dari markas mereka di Bickleigh Barracks di Devon. Menurut laporan media lokal, sebanyak 8.000 tentara akan terlibat dalam latihan perang itu, termasuk tentara dari negara Eropa lainnya dan Amerika Serikat (AS).
Pada akhir September, Menteri Pertahanan Inggris Gavin Williamson mengumumkan bahwa Inggris berupaya meningkatkan kehadiran militernya di Kutub Utara pada 2019 di tengah kekhawatiran tentang apa yang dia sebut sebagai "agresi" Rusia.
Ketegangan antara Rusia dan Inggris telah meningkat sejak London menuduh Moskow melakukan serangan racun terhadap mantan agen ganda Rusia; Sergei Skripal dan putrinya Yulia di Salisbury Maret lalu. Moskow telah secara konsisten membantah tuduhan itu dan menuntut bukti dari Inggris.
Pada awal Oktober, pemerintah Inggris juga menuduh bahwa GRU berada di belakang serangkaian serangan siber terhadap institusi politik, outlet media, dan infrastruktur di seluruh dunia, termasuk Inggris. Rusia menolak tuduhan itu sebagai kampanye disinformasi mentah. Moskow menekankan bahwa London telah gagal untuk menguatkan klaimnya.
Baru-baru ini, Williamson mengerahkan HMS Echo, kapal Angkatan Laut Kerajaan, ke Laut Hitam untuk menunjukkan solidaritas London dengan Ukraina setelah insiden Angkatan Laut Moskow dan Kiev di Selat Kerch.
Williamson mengatakan bahwa pengiriman kapal militer itu merupakan respons terhadap ancaman dan agresi Rusia yang semakin intensif. Namun, Kedutaan Besar Rusia di London menuduh menteri itu menghasut Kiev untuk melakukan provokasi militer terbaru.
Sumber: Sindonews