Menu

Berharap Jokowi-Amin Lengser Akibat Putusan MA, Penjelasan Pakar Hukum Ini Bikin Pembenci Jokowi Gigit Jari

Satria Utama 8 Jul 2020, 09:10
Jokowi-Ma'ruf Amin
Jokowi-Ma'ruf Amin

RIAU24.COM -  JAKARTA - Dikabulkannya gugatan Rahmawati Cs terhadap Peraturan KPU (PKPU) 5/2019  oleh Mahkamah Agung  membuat geger publik tanah air. Spekulasi bahwa pasangan Jokowi - Ma'ruf Amin dapat dilengserkan akibat putusan ini pun mencuat.

Namun harapan besar kelompok yang tidak propemerintah ini sepertinya ibarat mimpi di siang bolong. Pasalnya, putusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang memenangkan pasangan Jokow-Maruf di Pilpres 2019 lalu dinilai tetap sah.

Hal ini ditegaskan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Parahyangan (Unpar) Bandung, Asep Warlan Yusuf. Asep menjelaskan, secara rinci peraturan perundang-undangan yang jadi acuan kemenangan pasangan capres-cawapres adalah pasal 6A ayat 3 UUD 1945.

Ketentuan ini mengatur mengenai syarat minimal perolehan suara bagi pasangan capres dan cawapres bisa dinyatakan menang. Yaitu memperoleh suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara nasional dengan sedikitnya mengantongi 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.

“Itu tidak diatur bagaimana kalau dua pasang gitu ya. Kalau kurang dari itu baru melakukan pemilihan kembali,” ujar Asep Warlan seperti dilansir RMOL, Rabu (8/7/2020).

Kemudian, kata Asep Warlan, muncul pasal 159 ayat 1 UU 42/2007 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK), pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang dimaknai tidak berlaku untuk paslon yang hanya terdiri dari 2 pasangan.

“Kemudian terbit UU 7/2017 tentang Pemilu. Nah isi dari pasal tentang itu kan ada di pasal 416 di UU 7/2017 isinya persis sama dengan apa yang tercantum dalam pasal 6A UUD 1945, dia tidak merujuk pada putusan MK, tapi langsung mengutip Pasal 6A itu masih sama,” jelasnya.

Dari putusan MK tersebut, terbit PKPU 5/2019. Di mana pada pasal 3 ayat 7 mengatakan bahwa dalam hal hanya terdapat 2 pasangan, maka paslon yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai paslon terpilih.

“Jadi di pasal 6A UUD itu kan nggak ada norma (khusus jika hanya ada 2 calon) itu, nah ditambahkan di pasal 3 ayat 7 PKPU 5/2019 itu,” urainya.

Asep menambahkan, pilpres berlangsung pada 17 April 2019 berdasarkan PKPU 5/2019 tersebut. Setelah pemilu berlangsung, Rachmawati Soekarnoputri cs mengajukan uji materiil ke MA pada 13 Mei 2019 dan diterima di Kepaniteraan MA pada 14 Mei 2019.

“Artinya setelah pemilu terjadi. Penetapan hasil pemenang pemilu itu tanggal 30 Juni 2019, siapa pemenangnya,”

“Nah putusan MA terhadap pasal 3 ayat 7 tadi itu terjadi pada tanggal 28 Oktober 2019. Pertanyaan berikutnya, bagaimana putusan MA itu kaitannya dengan pilpres?” terang Asep Warlan.

Dia lantas membeberkan penjelasan mengenai hukum tata negara atas pertanyaan publik soal adanya putusan MA yang disebut dapat membatalkan kemenangan pasangan Jokowi-Maruf.

Dalam hukum tentang putusan uji materiil, misalnya di MK. Maka mengacu pada Pasal 47 UU 24/2003 tentang MK yang berbunyi: “Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum”.

“Nah sedangkan di Mahkamah Agung tidak begitu, dia keluar Perma 1/2011 tentang Uji materi di MA ada dalam pasal 8 dikatakan bahwa dijalankan lah putusan MA sejak diucapkan kemudian berlaku 90 hari,”

“Kalau 90 hari lewat, maka pasal itu sudah dianggap demi hukum tidak berlaku,” beber Prof Asep.

Dengan demikian, kata Prof Asep, atas putusan MA tersebut yang diputuskan pada 28 Oktober 2019 tidak mempengaruhi putusan KPU yang telah melantik Capres dan Cawapres terpilih yakni Jokowi-Maruf pada 20 Oktober 2019.***