Menu

Dihantam Krisis Ekonomi Gegara Corona, Warga di Negara Ini Gunakan Kelinci Sebagai Alat Transaksi

Satria Utama 3 Jun 2020, 04:46
Peternak kelinci di Kuba
Peternak kelinci di Kuba

RIAU24.COM -  HAVANA - Pandemi COVID-19 memicu membuat ekonomi di Kuba babak belur. Warga kesulitan untuk bertransaksi secara normal.  Warga pun terpaksa melakukan transaksi secara barter untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. 

Bahkan, ada warga negara tersebut yang menjadikan kelinci sebagai alat tukar untuk mendapatkan makan,  salah satunya, Nelson Aguilar.  Ia terpaksa menjual kelinci yang dia besarkan di atas rumahnya ke restoran di Havana. 

Pria berumur 70 tahun itu menjadikan kelinci sebagai mata uang, untuk ditukar dengan makanan atau sabun, demi menghindari antrean panjang berjam-jam di toko-toko yang stoknya terbatas.

Dia tidak sendiri. Semakin banyak warga Kuba beralih ke barter untuk memenuhi kebutuhan pokok, menukar secara langsung ke orang atau melalui grup media sosial.

Virus corona telah memperburuk krisis barang kebutuhan pokok yang sudah parah sebelum pandemi terjadi. "Sejak mereka menutup semua restoran. Saya sekarang memelihara kelinci untuk makan atau alat tukar," kata Aguilar di depan kandang kelincinya.

"Saya menukar kelinci untuk sabun misalnya, karena saya tidak suka antrean itu. Sejauh ini, saya tidak pernah antre, meski sekali," papar dia seperti dilansir Sindonews.

Para pembeli harus antre untuk mendapatkan beberapa kebutuhan pokok sejak satu setengah tahun terakhir saat kondisi ekonomi Kuba memburuk dengan krisis yang terjadi di Venezuela serta sanksi pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.

Kini, pandemi menghentikan pariwisata, mengurangi pengiriman uang dan menambah biaya pengiriman, membuat Kuba mengalami krisis ekonomi terburuk sejak keruntuhan penyokong utamanya Uni Soviet pada 1990-an.

Warga Kuba tidak kali ini saja melakukan barter. Selama era Uni Soviet, warga Kuba menukar minuman rum lokal untuk produk makanan kaleng Soviet dari para pelaut pedagang. Selama masa depresi 1990-an, para petani menukar buah dan sayuran untuk barang-barang buatan warga kota.***