Menu

Gara-gara Aturan Ambang Batas Presiden, Pemilu Serentak 2019 Jadi Porak Poranda

Siswandi 25 Apr 2019, 10:10
Effendi Gazali
Effendi Gazali

RIAU24.COM -  Pengamat komunikasi politik yang juga penggugat uji materi pemilu serentak, Effendi Ghazali, menyebutkan, ada beberapa hal yang membuat pelaksanaan Pemilu 2019 jadi porak poranda. Yang terutama adalah karena faktor ambang batas presidensial atau presidential threshold (PT).

Untuk diketahui, terkait PT tersebut, UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, mengatur tentang syarat partai atau gabungan partai yang boleh mengusung pasangan capres dan cawapres. Yakni harus memiliki 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah di level nasional.

Effendi menilai, penerapan sistem PT itu terkesan sebagai upaya membatasi agar pertarungan di Pilpres 2019 hanya menghadirkan dua pasangan calon saja.

"Semua hancur gara-gara presidential threshold, yang lebih terlihat sebagai upaya melarang putra dan putri terbaik bangsa untuk ikut masuk dalam kompetisi pilpres. Bahkan, ada kesan ingin membatasi agar hanya terdapat satu pasangan kompetitor dan kalau bisa dicari kompetitor yang terlemah," ujarnya dilansir cnnindonesia, Rabu 24 April 2019 kemarin.

Padahal, terangnya, keberadaan dua pasang calon pun berpotensi melahirkan konflik tajam.

Akibat sistem PT yang seperti itu pula, semua pihak yang terkait dengan Pemilu, akhirnya dibuat sibuk hanya untuk menangani konflik antara dua kubu yang bertarung di Pilpres 2019. Mulai dari penyelenggara, pengawas hingga pihak keamanan.

Apalagi terkait kabar di media sosial. Sehingga semua pihak terkesan mencurahkan perhatian untuk menangani dan menganalisis kasus berita bohong atau hoaks, ujaran kebencian, serta bentuk pencemaran lain.

Menurutnya, situasinya akan berbeda bila pasangan capres dan cawapres yang dihadirkan di Pilpres 2019 berjumlah lima.

Lebih lanjut, Effendi menilai, sistem PT tersebut pada akhirnya telah merenggut jiwa pelaksanaan pemilu secara serentak.

"Jadi kami pun, pengaju judicial review ke MK, sudah meminta dari jauh hari agar pemilu serentak versi UU Pemilu dibatalkan saja, kembali ke pemilu seperti 2014," ujarnya lagi.

Tak hanya itu, Effendi juga mendorong evaluasi secara menyeluruh dilakukan terhadap sistem PT. Salah satunya, terkait jabatan presiden yang hanya satu kali. Hal ini untuk mengantisipasi pertarungan ulang yang dapat membuka luka lama.

"Belajar dari sejarah dan pengalamannya masing-masing, maka di Korea Selatan masa jabatan presiden satu kali [selama] lima 5 tahun, di Filipina satu kali [selama] enam tahun. Sehingga tidak akan pernah ada rematch atau calon presiden yang sama bertarung kembali," terangnya. ***